BERBICARA tentang perkebunan di Indonesia, tidak akan pernah terlepas dari bedeng (rumah kecil untuk para buruh perekebunan). Sepertinya tidak ada kaitannya, namun rumah kecil berukuran 4 x 6 meter yang oleh orang Sunda disebut bedeng ini, keberadaan bedeng sangat berpengaruh sekali. Keberadaan bedeng ini, ikut menentukan usia dari sebuah perkebunan, terutama perkebunan teh. Selain itu, bedeng-bedeng ini didirikan oleh para pekerja perkebunan tidak pernah jauh dari perkebunan maupun pabrik teh.
Seperti perkebunan teh Malabar terletak di Kp. Kampung Malabar, Desa Banjarsari, Kecamatan Pangalengan, Kabupaten Bandung.Perkebunan yang dibangun di dataran tinggi Pangalengan, Kabupaten Bandung dipercaya sebagai perkebuinan teh pertama di tanah Priangan. Perkebunan teh Malabar oleh orang orang Belanda berkebangsaan Jerman, Karl Albert Rudolf Bosscha (KAR Bosscha) tahun 1890.
Penunjukan daerah dataran tinggi Pangalengan untuk dijadikan perkebunan Malabar oleh KAR Boscha, bukan tanpa arti. Dataran tinggi Pangalengan ini mempunyai panorama alam yang indah tiada duanya. Dataran tinggi Pangalengan konon sebagai kawasan yang disebut Swiss-nya Indonesia, sehingga menarik Ratu Belanda, untuk mengelola perkebunan teh di kawasan tersebut.
Memang Perkebunan Malabar yang khusus mengelola tanaman teh, banyak mempunyai sejumlah panorama keindahan serta kisah. Perkebunan teh Malabar inilah yang pertama kali dibangun oleh orang Belanda di kawasan dataran tinggi Pangalengan tahun 1896. Bahkan, sejarah perkebunan teh Malabar tidak akan terlepas dari orang Belanda berkebangsaan Jerman, KAR Bosscha. Dialah orang yang pertama ditunjuk Ratu Belanda untuk mengelola perkebunan teh di wilayah Pangalengan Kabupaten Bandung awal tahun 1896. Namun budaya Belanda mulai mewarnai kehidupan masyarakat di dataran tinggi Pangalengan dimulai sejak tahun 1890.
Dari sekian banyak panorama keindahan di perkebunan teh Malabar, ada sebuah komplek bangunan yang terbuat dari kayu serta bilik bambu atau bedeng, di sisi sebelah utara Wisma Malabar. Keberadaan kompleks rumah kayu ini tidak dipisahkan dari sejarah berdirinya perkebunan ini. Menurut cerita warga Malabar, kompleks bedeng ini merupakan cikal bakal berdirinya salah satu perkebunan paling tertua di wilayah Priangan.
Rata-rata bangunan mempunyai ukuran 4 x 6 m ini diperuntukan bagi para buruh pemetik teh. Dari sekian banyak bangunan kayu atau bedeng, ada satu bangunan bedeng yang banyak menarik perhatian masyarakat, termasuk pengelola perkebunan teh Malabar waktu itu, Karl Albert Rudolf Bosscha (KAR Bosscha), yakni bumi hideung (rumah hitam). Begitu datang dipekarangan rumah, Anda akan disambut tulisan "Rumah Ini Rumah Paling Tua, Dibangun Tahun 1896". Percaya atau tidak, rumah milik perkebunan Malabar ini memang rumah pertama dibangun di kawasan perkebunan teh di Kampung Malabar, Desa Banjasrsari, Kecamatan Pangalengan, Kabupaten Bandung. Oleh masyarakat setempat, rumah yang ditempati Emak Onah (78) itu disebut Bumi Hideung, karena seluruh bangunan luarnya dicat hitam sejak berdiri hingga sekarang.
Jika dikaitkan dengan berdirinya perkebunan teh Malabar pada tahun 1896, maka tidak salah jika Bumi Hidueng merupakan rumah yang paling tua didaerah itu.
Menurut cerita Emak Onah, rumah yang ditinggalinya memang rumah yang paling tua di Kampung Malabar. Cerita itu diperoleh Emak Onah turun temurun dari kakeknya yang diceritakan kepada suaminya, Alm. Iyet (91).
Seperti yang diceritakan Emak Onah, Bumi Hideung sesuai fisik luarnya rumah itu berwarna hitam pekat. Sedangkan bagian dalam berwarna putih kekuning-kuningan akibat terlalu tua dan tidak pernah tekena sinar matahari. Rumah atau bedeng itu berukuran 6 x 4 meter, bentuknya sangat sederhana, terdiri atas dua kamar, satu ruang tengah dan dapur. Namun terlihat kokoh, bahkan bagian tiang penyangga, palang dada, lantai dari kayu, dan pintu termasuk bilik (dinding dari bambu) tidak pernah diganti, dari mulai berdiri sampai sekarang. Kecuali genting yang mengalami pecah, terpaksa harus diganti agar tidak bocor. Bahkan peralatan rumah tangga pun, ada beberapa buah tidak pernah diganti terlihat sangat tua dan sangat asli.
Sedangkan warna hitam yang terdapat pada bagian bilik luar, menurut cerita Emak Onah, warna hitam terbuat dari sulinem (campuran aspal dan minyak tanah), kemudian dilaburkan ke bilik bambu. Hal itu dilakukan untuk mengawetkan bilik bambu dari lembabnya suhu serta cuaca dingin. Selain itu, untuk menutupi lubang-lubang yang ada pada bilik bambu tersebut agar angin dingin dari luar tidak bisa masuk ke dalam.
Tidak hanya bilik bambu, seluruh tiang penyangga dan daun pintu serta jendela dilabur sulinem. Angker memang kelihatannya. Tapi dari situlah daya tarik rumah hitam menarik untuk diguar atau digali secara keilmuan. Pengecatan atau pelaburan bilik bambu, dilakukan menjelang hari-hari istimewa, seperti peringatan 17 Agustusan oleh Alm. Iyet dan alm kakeknya.
"Pada jaman Belanda, pelaburan dilakukan bila ada peringatan besar di negeri Belanda. Namun setelah Indonesia Merdeka, pelaburan dilakukan setiap tanggal 17 Agutus. Itung-itung pangemut-ngemut kamerdekaan bangsa Indonesia," ungkap Emak Onah.
Beberapa dekade setelah Indonesia merdeka, bumi hideung sering dijadikan salah satu tujuan para wisatawan Belanda yang datang ke Kota Bandung. Namun sekarang tidak lagi. Bumi hideung tidak pernah dikunjungi wisatawan Belanda. Tidak hanya itu, wisatawan lokal pun sama. Sepertinya, keberadaan bumi hideung tidak lagi menjadi tujuan wisata semenjak ditinggal alm Iyet lima tahun lalu. Bumi hideung, kini hanya tinggal kenangan dan dijadikan tempat tinggal Emak Onah sekeluarga. Walaupun begitu, keberadaan bumi hideung masih menjadi objek penelitian para mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi di Jawa Barat.
Dengan menjadi objek penelitian, kehidupan Emak Onah memang sedikit terbantu. Namun jika ddibandingkan dengan dulu, kehidupan Emak Onah sekeluarga lebih baik dari sekarang. Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, Emak Onah berjualan madu yang diambil dari hutan serta menjual benalu teh. "Kini Emak agak repot untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari dibanding ketika ada almarhum. Madu yang diperoleh dari hutan hanya didapat satu kali seminggu. Itu pun jika ada yang pesan," papar Emak Onah.
Sejak ditinggal suaminya, Emak Onah belum mendapat bantuan apapun dari pemerintah setempat. Selain mengandalkan dari berjualan madu dan benalu teh, kehidupan Emak Onah sangat bertumpu pada uang pensiunan yang jumlahnya tidak lebih dari Rp 300 ribu/bulan. Emak Onah berharap, bumi hideung yang ditinggalinya bisa menjadi objek wisata seperti dulu. Apalagi bisa didatangi oleh wisatawan Belanda seperti dulu, sekalipun kedatangan mereka hanya sekedar bernostalgia. Harapan itu tergambar dari sorot matanya yang hampir tertutup oleh kulit keriputnya.
Penunjukan daerah dataran tinggi Pangalengan untuk dijadikan perkebunan Malabar oleh KAR Boscha, bukan tanpa arti. Dataran tinggi Pangalengan ini mempunyai panorama alam yang indah tiada duanya. Dataran tinggi Pangalengan konon sebagai kawasan yang disebut Swiss-nya Indonesia, sehingga menarik Ratu Belanda, untuk mengelola perkebunan teh di kawasan tersebut.
Memang Perkebunan Malabar yang khusus mengelola tanaman teh, banyak mempunyai sejumlah panorama keindahan serta kisah. Perkebunan teh Malabar inilah yang pertama kali dibangun oleh orang Belanda di kawasan dataran tinggi Pangalengan tahun 1896. Bahkan, sejarah perkebunan teh Malabar tidak akan terlepas dari orang Belanda berkebangsaan Jerman, KAR Bosscha. Dialah orang yang pertama ditunjuk Ratu Belanda untuk mengelola perkebunan teh di wilayah Pangalengan Kabupaten Bandung awal tahun 1896. Namun budaya Belanda mulai mewarnai kehidupan masyarakat di dataran tinggi Pangalengan dimulai sejak tahun 1890.
Dari sekian banyak panorama keindahan di perkebunan teh Malabar, ada sebuah komplek bangunan yang terbuat dari kayu serta bilik bambu atau bedeng, di sisi sebelah utara Wisma Malabar. Keberadaan kompleks rumah kayu ini tidak dipisahkan dari sejarah berdirinya perkebunan ini. Menurut cerita warga Malabar, kompleks bedeng ini merupakan cikal bakal berdirinya salah satu perkebunan paling tertua di wilayah Priangan.
Rata-rata bangunan mempunyai ukuran 4 x 6 m ini diperuntukan bagi para buruh pemetik teh. Dari sekian banyak bangunan kayu atau bedeng, ada satu bangunan bedeng yang banyak menarik perhatian masyarakat, termasuk pengelola perkebunan teh Malabar waktu itu, Karl Albert Rudolf Bosscha (KAR Bosscha), yakni bumi hideung (rumah hitam). Begitu datang dipekarangan rumah, Anda akan disambut tulisan "Rumah Ini Rumah Paling Tua, Dibangun Tahun 1896". Percaya atau tidak, rumah milik perkebunan Malabar ini memang rumah pertama dibangun di kawasan perkebunan teh di Kampung Malabar, Desa Banjasrsari, Kecamatan Pangalengan, Kabupaten Bandung. Oleh masyarakat setempat, rumah yang ditempati Emak Onah (78) itu disebut Bumi Hideung, karena seluruh bangunan luarnya dicat hitam sejak berdiri hingga sekarang.
Jika dikaitkan dengan berdirinya perkebunan teh Malabar pada tahun 1896, maka tidak salah jika Bumi Hidueng merupakan rumah yang paling tua didaerah itu.
Menurut cerita Emak Onah, rumah yang ditinggalinya memang rumah yang paling tua di Kampung Malabar. Cerita itu diperoleh Emak Onah turun temurun dari kakeknya yang diceritakan kepada suaminya, Alm. Iyet (91).
Seperti yang diceritakan Emak Onah, Bumi Hideung sesuai fisik luarnya rumah itu berwarna hitam pekat. Sedangkan bagian dalam berwarna putih kekuning-kuningan akibat terlalu tua dan tidak pernah tekena sinar matahari. Rumah atau bedeng itu berukuran 6 x 4 meter, bentuknya sangat sederhana, terdiri atas dua kamar, satu ruang tengah dan dapur. Namun terlihat kokoh, bahkan bagian tiang penyangga, palang dada, lantai dari kayu, dan pintu termasuk bilik (dinding dari bambu) tidak pernah diganti, dari mulai berdiri sampai sekarang. Kecuali genting yang mengalami pecah, terpaksa harus diganti agar tidak bocor. Bahkan peralatan rumah tangga pun, ada beberapa buah tidak pernah diganti terlihat sangat tua dan sangat asli.
Sedangkan warna hitam yang terdapat pada bagian bilik luar, menurut cerita Emak Onah, warna hitam terbuat dari sulinem (campuran aspal dan minyak tanah), kemudian dilaburkan ke bilik bambu. Hal itu dilakukan untuk mengawetkan bilik bambu dari lembabnya suhu serta cuaca dingin. Selain itu, untuk menutupi lubang-lubang yang ada pada bilik bambu tersebut agar angin dingin dari luar tidak bisa masuk ke dalam.
Tidak hanya bilik bambu, seluruh tiang penyangga dan daun pintu serta jendela dilabur sulinem. Angker memang kelihatannya. Tapi dari situlah daya tarik rumah hitam menarik untuk diguar atau digali secara keilmuan. Pengecatan atau pelaburan bilik bambu, dilakukan menjelang hari-hari istimewa, seperti peringatan 17 Agustusan oleh Alm. Iyet dan alm kakeknya.
"Pada jaman Belanda, pelaburan dilakukan bila ada peringatan besar di negeri Belanda. Namun setelah Indonesia Merdeka, pelaburan dilakukan setiap tanggal 17 Agutus. Itung-itung pangemut-ngemut kamerdekaan bangsa Indonesia," ungkap Emak Onah.
Beberapa dekade setelah Indonesia merdeka, bumi hideung sering dijadikan salah satu tujuan para wisatawan Belanda yang datang ke Kota Bandung. Namun sekarang tidak lagi. Bumi hideung tidak pernah dikunjungi wisatawan Belanda. Tidak hanya itu, wisatawan lokal pun sama. Sepertinya, keberadaan bumi hideung tidak lagi menjadi tujuan wisata semenjak ditinggal alm Iyet lima tahun lalu. Bumi hideung, kini hanya tinggal kenangan dan dijadikan tempat tinggal Emak Onah sekeluarga. Walaupun begitu, keberadaan bumi hideung masih menjadi objek penelitian para mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi di Jawa Barat.
Dengan menjadi objek penelitian, kehidupan Emak Onah memang sedikit terbantu. Namun jika ddibandingkan dengan dulu, kehidupan Emak Onah sekeluarga lebih baik dari sekarang. Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, Emak Onah berjualan madu yang diambil dari hutan serta menjual benalu teh. "Kini Emak agak repot untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari dibanding ketika ada almarhum. Madu yang diperoleh dari hutan hanya didapat satu kali seminggu. Itu pun jika ada yang pesan," papar Emak Onah.
Sejak ditinggal suaminya, Emak Onah belum mendapat bantuan apapun dari pemerintah setempat. Selain mengandalkan dari berjualan madu dan benalu teh, kehidupan Emak Onah sangat bertumpu pada uang pensiunan yang jumlahnya tidak lebih dari Rp 300 ribu/bulan. Emak Onah berharap, bumi hideung yang ditinggalinya bisa menjadi objek wisata seperti dulu. Apalagi bisa didatangi oleh wisatawan Belanda seperti dulu, sekalipun kedatangan mereka hanya sekedar bernostalgia. Harapan itu tergambar dari sorot matanya yang hampir tertutup oleh kulit keriputnya.
No comments:
Post a Comment